Dinamika Pelaksanaan
UUD 1945
- Hampiran awal:
- Diingatkan kembali, UUD 1945 merupakan hukum dasar (konstitusi) tertulis Negara RI yang berisi ketentuan-ketentuan pokok penyelenggaraan Negara, memuat asas kerohanian/spiritual Negara, asas politik dan tujuan Negara
- BPUPKI (badan penyeliduik usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesoia) pertama kali bersidang (29 Mei – 1 Juni 1945) menghasilkan rumusan ideologi pancasila
- BPUPKI sidang kedua (10 – 16 Juli 1945) menghasilakan UUD 1945 (pembukaan dan batang tubuhnya)
- 6 Agustus 1945 PPKI (panitia persiapan kemerdekaan Indonesia) dibentuk, diketuai Ir. Soekarno
- 17 Agustus 1945 proklamasi kemerdekaan
- 18 Agustus 1945 sidang PPKI:
a.
Mengangkat Ir Soekarno dan Drs. Moch. Hatta sebagai presiden dan wakil presiden
b.
Mensyahkan konstitusi UUD 1945
- 18 Agustus 1945 dalam sidang PPKI Soekarno menyatakan UUD 1945 belumlah lengkap, bersifat darurat, dibuat kilat, dan karena itu bisa diperbaiki ke depan
- Penting ditekankan bahwa beberapa penyimpangan UUD 1945 selama pelaksanaan ada sungguh-sungguh tidak dapat dibenarkan dan ada pula yang dapat dibenarkan karena proses dinamika kontekstualnya yang menuntut adaftasi dan dialektika pemikiran
- Pelaksanaan UUD 1945 masa awal kemerdekaan (17 Agustus 1945 – 29 Desember 1949)
- Di awal kemerdekaan anggota KNIP (yang mendukung demokrasi) gelisah dengan kekuasaan presiden yang begitu besar diberikan UUD, lalu mengusung gagsan pemerintahan parlementer biarpun UUD-nya presidensial
- KNIP (7 Oktober 1945) mengeluarkan memorandum yang meminta presiden segera membentuk MPR dan agar KNIP berfungsi sebagai MPR sebelum terbentuk
- Wakil presiden (16 Oktober 1945) mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden No. X isinya:
“Bahwa komite nasional pusat,
sebelum terbentuk MPR dan DPR diserahi kekuasaan
legislative dan ikut menetapkan GBHN, serta membentuk badan pekerjanya”
- Wakil Presiden (3 November 1945) mengeluarkan maklumat lagi yang isinya kebebasan membentuk banyak partai
- Tanggal 14 November 1945 terbentuk kabinet pertama berdasarkan sistem parlementer (demokrasi liberal) dengan perdana menterinya Syahrir, sekali lagi biarpun UUD-nya tetap UUD 1945
- Mulai 29 Desember 1949 – 17 Agustus 1950 terbentuk Negara RIS dengan konstitusi (UUD) barunya Konstitusi RIS (KRIS). Ini bukan kajian kita kali ini
- Mulai 17 Agustus 1950 terbentuk NKRI kembali tapi dengan konstitusi yang berbeda: UUDS 1950.
Ini bukan pula kajian kita kali
ini
- Pelaksanaan UUD 1945 masa Orla (demokrasi terpimpin) 5 Juli 1959 – 11 Maret 1966 (hasil dekrit)
- Sesuai amanah UUDS 1950 bahwa harus diadakan Pemilu dalam waktu dekat dan merumuskan “UUD tetap” daripada UUDS 1950
- Tetapi perumusan “UUD tetap” selama kurang lebih 3 tahun, dari tahun 1966 – 1959 tidak juga mencapai kesepakatan karena pertarungan sengit kelompok ideologi-ideologi
- Tanggal 5 Juli 1959 presiden menganggap NKRI darurat bahaya dan mengeluarkan dekrit presiden, isinya: pembubaran konstituante dan NKRI kembali ke UUD 1945, serta pembentukan MPRS dan DPAS
- Sebenarnya dekrit ini dapat dipahami sebagai solusi dari kemacetan politik yang parah
- Tetapi pada periode demokrasi terpimpin ini kekuasaan didominasi presiden, terbatasnya peranan Parpol, meluasnya pengaruh komunis dan peranan TNI/POLRI
- Dan pengangkatan presiden seumur hidup oleh TAP MPRS NO. III/MPRS/1963 menjadi tidak beralasan secara moral
- Pengangkatan Ketua DPRGR/MPRS menjadi menteri Negara
- Juga apabila sidang DPRGR tidak mufakat presiden mengambil alih keputusan
F. Pelaksanaan UUD 1945 masa Orba (Orde Baru) 11 Maret 1966
– 22 Mei 1998
1. Di akhir 1965 dan awal tahun 1966 terjadi
krisis/perpecahan politik dan ekonomi yang parah
2. Puncak perpecahan pilitik adalah terjadinya Gerakan 30
September 1965 (Gestapu) oleh PKI
3. Krisis politik dan ekonomi menyebabkan lahirnya Tri Tura
(tiga tuntutan rakyat), isinya: Turunkan
harga, Bubarkan
PKI, Bersihkan kabinet Trikora dari unsur PKI
4. Pada akhirnya melahirkan Surat Perintah Sebelas Maret
(Supersemar) dari Presiden Soekarno
kepada Letjen.
Seoharto (Panglima AD) supaya memulihkan keadaan yang centang perenang
5. Pemerintahan
Orde Baru awalnya berhasil membawa stabilitas politik, keamanan dan ekonomi
6. Di bidang
ekonomi Orde Baru membuka luas perdagangan internasional
7. Di bidang
politik dan keamanan Orde Baru lama-lama mengekang kebebasan demokrasi sampai
akhirnya
menjadi otoriter dengan merangkul ABRI
8. Pemaksaan
peran dwi fungsi ABRI di legislatif (anggota dewan) dan eksekutif
(pemerintahan)
9. Maraknya KKN
di lingkungan pemerintahan
10. Terjadi
pelanggaran HAM oleh pemerintah/ABRI di mana-mana terutama di daerah-daerah
konflik
11. Kerja sama
ekonomi yang kelewat batas karena faktor KKN menyebabkan utang luar negeri
pemerintah
sebesar antar generasi tidak akan putus
12. Hubungan
kewenangan dan keuangan pusat—daerah tidak adil (sentralistis)
G. Pelaksanaan UUD 1945 masa Reformasi—sekarang 22 Mei 1998
– sekarang
a. Hampiran awal:
1. Pertengahan 1997 gelombang krisis moneter melanda diikuti
krisis ekonomi, politik, social, HAM,
kepercayaan,
hokum, yang parah terbuka dan tak terbendung
2. Sejak 1997 semua mahasiswa dan segenap elemen bangsa di
seluruh Indonesia
demonstrasi tak
Berkesudahan, memunculkan tokoh reformasi (perubahan)
legendaris Amien Rais (Bapak Reformasi
Indonesia), disusul Gusdur, Megawati, Sri Sultan, Hidayat Nur Wahid,
dll.
3. Tuntutannya tidak lain dari supremasi hokum,
pemberantasan KKN, pengusutan pelanggaran HAM
berat, pelucutan
peran dwi fungsi ABRI, dan desentralisasi (otonomi daerah)
4. Puncaknya rejim pemerintahan Orba yang otoriter dan korup
jatuh pada 22 Mei 1998
b. Pokok bahasan:
1. Pemerintahan
jaman reformasi dimulai sejak Presiden BJ. Habibi menggantikan Soeharto
(1998—
1999),
Gusdur (1999—2001), dan Megawati (2002—2004), Serta SBY (2004—sekarang)
2. Pemilu
legislatif diadakan tahun 1999, dan MPR
berhasil (dari 1999, 2000, 2001, dan 2002)
mengamandemen (4 tahap) UUD 1945
3. Jaman Gusdur
berhasil membuka keran demokrasi dan melucuti peran dwi fungsi ABRI
4. Amandemen
menghasilkan tatanan pokok baru kenegaraan, yaitu: mengembalikan kedaulatan
ke
tangan rakyat
sepenuhnya (tidak oleh MPR lagi), HAM dimuat secara eksplisit, menguatkan
kewenangan
peran DPR, mengubah lembaga MPR jadi bikmeral/dua kamar (DPR dan DPD),
menghapus
lembaga DPA, otonomi daerah, Mahkamah Konstitusi, Pemilihan residen dan wakil
presiden
secara langsung, KPK, dll.
4. Demokrasi
(paling tidak secara formal dan procedural) telah dibuka lebar, HAM diagungkan,
otonomi
daerah luas
terselenggara, dan perundang-undangan dilaksanakan (paling tidak secara formal)
5. Terakhir PR
negeri antara lain masih korupsi (puncaknya kasus Bank Centuri Rp. 6,7
triliun),
supremasi
hokum yang diakali, moral politik, dan demokrasi yang masih formalitas,
kemiskinan,
pengguran,
kesehatan dan pendidikan kita yang masih belum mencerminkan idealisasi
dari
pelaksanaan
UUD 1945
Salah satu keberhasilan yang dicapai oleh bangsa Indonesia pada masa reformasi
adalah reformasi konstitusional (constitutional
reform). Reformasi konstitusi dipandang
merupakan kebutuhan dan agenda yang harus dilakukan karena UUD 1945 sebelum
perubahan dinilai tidak cukup untuk mengatur dan mengarahkan penyelenggaraan
negara sesuai harapan rakyat, terbentuknya good governance, serta
mendukung penegakan demokrasi dan hak asasi manusia.
Pada Sidang Umum MPR 1999, seluruh fraksi di MPR
membuat kesepakatan tentang arah perubahan UUD 1945, yaitu:[i]
1. sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD
1945;
2. sepakat untuk mempertahankan bentuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
3.
sepakat untuk mempertahankan sistem presidensiil (dalam pengertian sekaligus
menyempumakan agar betul-betul memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensiil);
4. sepakat untuk memindahkan hal-hal normatif
yang ada dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam pasal-pasal UUD 1945; dan
5. sepakat untuk menempuh cara adendum dalam
melakukan amandemen terhadap UUD 1945.
Perubahan UUD 1945
dilakukan secara bertahap dan menjadi salah satu agenda Sidang MPR dari 1999
hingga 2002[ii]. Perubahan pertama dilakukan dalam
Sidang Umum MPR Tahun 1999. Arah perubahan pertama UUD 1945 adalah membatasi
kekuasaan Presiden dan memperkuat kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
sebagai lembaga legislatif.[iii]
Perubahan kedua dilakukan dalam sidang
Tahunan MPR Tahun 2000. Perubahan kedua menghasilkan rumusan perubahan
pasal-pasal yang meliputi masalah wilayah negara dan pembagian pemerintahan
daerah, menyempumakan perubahan pertama dalam hal memperkuat kedudukan DPR, dan
ketentuan-ketentuan terperinci tentang HAM.[iv]
Perubahan ketiga ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR 2001.
Perubahan tahap ini mengubah dan atau menambah ketentuan-ketentuan pasal
tentang asas-asas landasan bemegara, kelembagaan negara dan hubungan
antarlembaga negara, serta ketentuan-ketentuan tentang Pemilihan Umum.[v]
Sedangkan perubahan keempat dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2002.
Perubahan Keempat tersebut meliputi ketentuan tentang kelembagaan negara dan
hubungan antarlembaga negara, penghapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA),
pendidikan dan kebudayaan, perekonomian dan kesejahteraan sosial, dan aturan
peralihan serta aturan tambahan.[vi]
Empat tahap perubahan UUD 1945 tersebut meliputi hampir keseluruhan
materi UUD 1945. Naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, sedangkan
perubahan yang dilakukan menghasilkan 199 butir ketentuan.[vii] Saat
ini, dari 199 butir ketentuan yang ada dalam UUD 1945, hanya 25 (12%) butir
ketentuan yang tidak mengalami perubahan. Selebihnya, sebanyak 174 (88%) butir
ketentuan merupakan materi yang baru atau telah mengalami perubahan.
Dari sisi kualitatif,
perubahan UUD 1945 bersifat sangat mendasar karena mengubah prinsip kedaulatan
rakyat yang semula dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR menjadi dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar. Hal itu menyebabkan semua lembaga negara dalam UUD
1945 berkedudukan sederajat dan melaksanakan kedaulatan rakyat dalam lingkup
wewenangnya masing-masing. Perubahan lain adalah dari kekuasaan Presiden yang
sangat besar (concentration of power and
responsibility upon the President) menjadi prinsip saling mengawasi dan
mengimbangi (checks and balances).
Prinsip-prinsip tersebut menegaskan cita negara yang hendak dibangun, yaitu
negara hukum yang demokratis.
Setelah berhasil melakukan
perubahan konstitusional, tahapan selanjutnya yang harus dilakukan adalah
pelaksanaan UUD 1945 yang telah diubah tersebut. Pelaksanaan UUD 1945 harus
dilakukan mulai dari konsolidasi norma hukum hingga dalam praktik kehidupan
berbangsa dan bernegara. Sebagai hukum dasar, UUD 1945 harus menjadi acuan
dasar sehingga benar-benar hidup dan berkembang dalam penyelenggaraan negara
dan kehidupan warga negara (the living
constitution).
B. NEGARA HUKUM YANG DEMOKRATIS
Salah satu prinsip dasar yang mendapatkan penegasan dalam perubahan UUD
1945 adalah prinsip negara hukum, sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 Ayat (3)
UUD 1945[viii]
yang menyatakan bahwa ‘Negara Indonesia adalah negara hukum’. Bahkan secara
historis negara hukum (Rechtsstaat) adalah negara yang diidealkan oleh
para pendiri bangsa sebagaimana dituangkan dalam penjelasan umum UUD 1945
sebelum perubahan tentang sistem pemerintahan negara yang menyatakan bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat),
tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat)[ix].
Ide negara hukum sesungguhnya telah lama dikembangkan oleh para filsuf
dari zaman Yunani Kuno. Plato, dalam bukunya “the Statesman” dan “the
Law” menyatakan bahwa negara hukum
merupakan bentuk paling baik kedua (the second best) guna mencegah
kemerosotan kekuasaan. Konsep negara hukum modern di Eropa Kontinental
dikembangkan dengan menggunakan istilah Jerman yaitu “rechtsstaat”
antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain.
Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika konsep negara hukum dikembangkan dengan
sebutan “The Rule of Law” yang dipelopori oleh A.V. Dicey. Selain itu,
konsep negara hukum juga terkait dengan istilah nomokrasi (nomocratie) yang
berarti bahwa penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan negara adalah hukum. [x]
Prinsip-prinsip negara hukum senantiasa berkembang sesuai dengan
perkembangan masyarakat. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta semakin
kompleksnya kehidupan masyarakat di era global, menuntut pengembangan
prinsip-prinsip negara hukum. Dua isu pokok yang senantiasa menjadi inspirasi
perkembangan prinsip-prinsip negara hukum adalah masalah pembatasan kekuasaan
dan perlindungan HAM. Saat ini, paling tidak dapat dikatakan terdapat dua belas
prinsip negara hukum, yaitu Supremasi Konstitusi (supremacy of law), Persamaan dalam Hukum (equality before the law), Asas Legalitas (due process of law), Pembatasan Kekuasaan (limitation of power), Organ Pemerintahan yang Independen,
Peradilan yang Bebas dan Tidak Memihak (independent and impartial judiciary),
Peradilan Tata Usaha Negara (administrative
court), Peradilan Tata Negara (constitutional
court), Perlindungan Hak Asasi Manusia, Bersifat Demokratis (democratische-rehtsstaats), Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan
Bernegara (Welfare Rechtsstaat), serta Transparansi dan Kontrol Sosial.[xi]
Dalam suatu negara hukum, mengharuskan
adanya pengakuan normatif dan empirik terhadap prinsip supremasi hukum, yaitu
bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi.
Pengakuan normatif mengenai supremasi hukum terwujud dalam pembentukan norma
hukum secara hirarkis yang berpuncak pada supremasi konstitusi. Sedangkan
secara empiris terwujud dalam perilaku pemerintahan dan masyarakat yang
mendasarkan diri pada aturan hukum.
Dengan demikian, segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas
peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan
perundang-undangan tersebut harus ada dan berlaku terlebih dulu atau mendahului
perbuatan yang dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan administratif harus
didasarkan atas aturan atau rules and procedures.
Namun demikian, prinsip supremasi hukum selalu diiringi dengan dianut dan
dipraktikkannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peran
serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap
peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan mencerminkan
perasaan keadilan masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau
hanya untuk kepentingan penguasa. Hukum tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin
kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan
keadilan bagi semua orang. Dengan demikian negara hukum yang dikembangkan bukan
absolute rechtsstaat, melainkan democratische rechtsstaat.
Berdasarkan prinsip negara hukum, sesungguhnya yang memerintah adalah
hukum, bukan manusia. Hukum dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma
hukum yang berpuncak pada konstitusi. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah negara
hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi disamping
merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan pelaksanaan
demokrasi karena konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi.
Oleh karena itu, aturan-aturan dasar konstitusional harus menjadi dasar
dan dilaksanakan melalui peraturan perundang-undangan yang mengatur
penyelenggaraan negara dan kehidupan masyarakat. Dengan demikian, perubahan UUD
1945 yang bersifat mendasar tentu saja berpengaruh terhadap sistem dan materi
peraturan perundang-undangan yang telah ada. Perubahan UUD 1945 membawa
implikasi terhadap jenis peraturan perundangan-undangan serta materi muatannya.
Adanya perubahan UUD 1945 tentu menghendaki adanya perubahan sistem peraturan
perundang-undangan, serta penyesuaian materi muatan berbagai peraturan
perundang-undangan yang telah ada dan berlaku.
C. UUD 1945 SEBAGAI KONSTITUSI POLITIK, EKONOMI,
DAN SOSIAL
Sebagai wujud perjanjian sosial tertinggi[xii],
konstitusi memuat cita-cita yang akan dicapai dengan pembentukan negara dan
prinsip-prinsip dasar pencapaian cita-cita tersebut. UUD 1945 sebagai
konstitusi bangsa Indonesia
merupakan dokumen hukum dan dokumen politik yang memuat cita-cita, dasar-dasar,
dan prinsip-prinsip penyelenggaraan kehidupan nasional.[xiii]
Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal[xiv].
Pembukaan dan pasal-pasal adalah satu kesatuan norma-norma konstitusi yang supreme
dalam tata hukum nasional (national legal order).
Cita-cita pembentukan negara kita kenal dengan istilah tujuan nasional
yang tertuang dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu (a) melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (b) memajukan
kesejahteraan umum; (c) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (d) ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial. Cita-cita tersebut akan dilaksanakan dalam suatu susunan
Negara Republik Indonesia
yang berdiri di atas lima
dasar yaitu Pancasila sebagaimana juga dicantumkan dalam alenia keempat
Pembukaan UUD 1945.
Untuk mencapai cita-cita tersebut dan melaksanakan penyelenggaraan negara
berdasarkan Pancasila, UUD 1945 telah memberikan kerangka susunan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Norma-norma dalam UUD 1945 tidak hanya mengatur
kehidupan politik tetapi juga kehidupan ekonomi dan sosial. Hal ini karena para
pendiri bangsa menghendaki bahwa rakyat Indonesia berdaulat secara penuh,
bukan hanya kedaulatan politik. Maka UUD 1945 merupakan konstitusi politik,
konstitusi ekonomi, dan konstitusi sosial yang harus menjadi acuan dan landasan
secara politik, ekonomi, dan sosial, baik oleh negara (state), masyarakat
(civil society), ataupun pasar (market).
Sebagai konstitusi politik, UUD 1945 mengatur masalah susunan kenegaraan,
hubungan antara lembaga-lembaga negara, dan hubungannya dengan warga negara.
Hal ini misalnya diatur dalam Bab I tentang Bentuk Kedaulatan, Bab II tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara,
Bab V tentang Kementerian Negara, Bab VI
tentang Pemerintah Daerah, Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat, Bab VIIA
tentang Dewan Perwakilan Daerah, Bab VIIB tentang Pemilu, Bab VIII tentang Hal
Keuangan, Bab VIIIA tentang Badan Pemeriksa Keuangan, Bab IX tentang Kekuasaan
Kehakiman, Bab IX tentang Wilayah Negara, Bab X tentang Warga Negara Dan
Penduduk khususnya Pasal 26, Bab XA tentang Hak Asasi Manusia khususnya Pasal
28I ayat (5), Bab XII tentang Pertahanan Dan Keamanan Negara, Bab XV tentang
Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan, Bab XVI tentang
Perubahan Undang-Undang Dasar, Aturan Peralihan, dan Aturan Tambahan.
Sebagai konstitusi ekonomi, UUD 1945 juga mengatur bagaimana sistem
perekonomian nasional seharusnya disusun dan dikembangkan. Ketentuan utama UUD
1945 tentang sistem perekonomian nasional dimuat dalam Bab XIV Pasal 33.
Ketentuan tentang sistem perekonomian nasional memang hanya dalam satu pasal
yang terdiri dari lima
ayat. Namun ketentuan ini harus dielaborasi secara konsisten dengan cita-cita
dan dasar negara berdasarkan konsep-konsep dasar yang dikehendaki oleh pendiri
bangsa. Selain itu, sistem perekonomian nasional juga harus dikembangkan
terkait dengan hak-hak asasi manusia yang juga mencakup hak-hak ekonomi, serta
dengan ketentuan kesejahteraan rakyat.
Sebagai konstitusi sosial, UUD 1945 mengatur tata kehidupan bermasyarakat
terutama dalam Bab X tentang Warga Negara Dan Penduduk khususnya Pasal 27 dan
Pasal 28, Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, Bab XIII tentang Pendidikan Dan
Kebudayaan, dan Bab XIV tentang Perekonomian Nasional Dan Kesejahteraan Rakyat
khususnya Pasal 34.
Ketentuan-ketentuan tersebut selalu harus dielaborasi secara konsisten
guna mencapai tujuan nasional serta untuk dapat mengantisipasi dan memberikan
solusi terhadap permasalahan perkembangan jaman sesuai dengan prinsip negara
hukum yang demokratis. Demokrasi yang dikembangkan adalah demokrasi politik, demokrasi
ekonomi, dan demokrasi sosial.
D. KONSTITUSI DAN SISTEM HUKUM NASIONAL
Negara hukum (Rechtsstaat atau The Rule of Law) adalah
konsep negara yang diidealkan oleh para pendiri bangsa yang membahas dan
merumuskan UUD 1945, sebagaimana kemudian dituangkan dalam penjelasan UUD 1945
sebelum perubahan. Penegasan sebagai negara hukum dikuatkan dalam UUD 1945
setelah perubahan pada Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah
Negara Hukum”.[xv]
Sebagai sebuah negara hukum, maka hukum harus dipahami dan dikembangkan
sebagai satu kesatuan sistem. Sebagai sebuah sistem, hukum terdiri dari
elemen-elemen (1) kelembagaan (institutional), (2) kaedah aturan (instrumental),
(3) perilaku para subyek hukum yang menyandang hak dan kewajiban yang
ditentukan oleh norma aturan itu (elemen subyektif dan kultural). Ketiga elemen
sistem hukum tersebut mencakup (a) kegiatan pembuatan hukum (law making),
(b) kegiatan pelaksanaan hukum atau penerapan hukum (law administrating),
dan (c) kegiatan peradilan atas pelanggaran hukum (law adjudicating)
atau yang biasa disebut dengan penegakkan hukum dalam arti sempit (law
enforcement).
Selain kegiatan-kegiatan tersebut di atas, terdapat beberapa kegiatan
lain yang sering dilupakan, yaitu (d) pemasyarakatan dan pendidikan hukum (law
socialization and law education) secara luas dan juga meliputi (e)
pengelolaan informasi hukum (law information management). Kedua kegiatan
tersebut merupakan kegiatan penunjang yang semakin penting kontribusinya dalam
sistem hukum nasional.
Kelima kegiatan dalam sistem hukum tersebut biasanya dibagi ke dalam tiga
wilayah fungsi kekuasaan negara, yaitu (i) fungsi legislasi dan regulasi, (ii)
fungsi eksekutif dan administratif, serta (iii) fungsi judikatif atau judisial.[xvi] Organ
legislatif adalah lembaga parlemen, organ eksekutif adalah birokrasi
pemerintahan, sedangkan organ judikatif adalah birokrasi aparatur penegakan
hukum yang mencakup kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Semua organ harus
dihubungkan dengan hirarkinya masing-masing mulai dari yang tertinggi hingga
terendah, yaitu terkait dengan aparatur tingkat pusat, tingkat provinsi, dan
tingkat kabupaten/kota.
Keseluruhan elemen, komponen, hirarki dan aspek-aspek yang bersifat
sistemik dan saling berkaitan satu sama lain itulah tercakup pengertian sistem
hukum yang harus dikembangkan dalam kerangka Negara Hukum Indonesia
berdasarkan UUD 1945. Jika dinamika yang berkenaan dengan keseluruhan aspek,
elemen, hirarki dan komponen tersebut tidak bekerja secara seimbang dan
sinergis, maka hukum sebagai satu kesatuan sistem tidak dapat diharapkan
terwujud sebagaimana mestinya.
Saat ini masih terdapat kecenderungan memahami hukum dan pembangunan
hukum secara parsial pada elemen tertentu dan bersifat sektoral. Maka saya
sering mengemukakan pentingnya menyusun dan merumuskan konsepsi Negara Hukum Indonesia
sebagai satu kesatuan sistem. Semua lembaga atau institusi hukum yang ada
hendaklah dilihat sebagai bagian dari keseluruhan sistem hukum yang perlu
dikembangkan dalam kerangka Negara Hukum tersebut. Untuk itu, bangsa Indonesia perlu
menyusun suatu blue print sebagai desain makro tentang Negara Hukum dan
Sistem Hukum Nasional yang hendak kita bangun dan tegakkan.
Salah satu elemen dalam sistem hukum nasional adalah kaedah aturan.
Kaedah-kaedah peraturan tersebut berupa peraturan perundang-undangan yang hanya
dapat dikatakan sebagai suatu tata hukum dalam sebuah sistem hukum nasional
jika validitasnya dapat dilacak baik secara langsung maupun tidak langsung
kepada kepada konstitusi.[xvii]
Tata hukum, sebagai personifikasi negara, merupakan suatu hirarki
peraturan perundang-undangan yang memiliki level berbeda. Kesatuan peraturan
perundang-undangan ini disusun oleh fakta bahwa pembuatan peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan
lain yang lebih tinggi.[xviii]
Peraturan perundang-undangan di Indonesia sebagai suatu tata hukum nasional
juga disusun secara hierarkis. Hubungan hierarkis tersebut terjalin secara utuh
dan berpuncak pada konstitusi yang dalam negara hukum dikenal sebagai prinsip
supremasi konstitusi.
E.
IMPLIKASI
PERUBAHAN UUD 1945 TERHADAP PEMBANGUNAN SISTEM HUKUM NASIONAL
Sebagai konsekuensi dari supremasi konstitusi dan hierarki
perundang-undangan dalam suatu sistem hukum, maka perubahan konstitusi
mengharuskan adanya perubahan terhadap perundang-undangan dalam sistem hukum
tersebut, serta pelaksanaannya oleh pihak yang berwenang.[xix]
Demikian pula halnya dengan perubahan UUD 1945 yang cukup mendasar dan meliputi
hampir keseluruhan ketentuan yang terdapat di dalamnya, harus diikuti dengan
perubahan perundang-undangan yang berada di bawahnya dan pelaksanaannya oleh
organ yang berwenang. Ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang telah ada
yang bersumber pada ketentuan tertentu dalam UUD 1945 sebelum perubahan harus
dilihat kembali kesesuaiannya dengan ketentuan hasil perubahan UUD 1945.
Segera setelah agenda constitutional
reform (pembaruan konstitusi) berhasil dilakukan, kita perlu melanjutkan
dengan agenda legal reform (pembentukan dan pembaruan hukum). Jika
kita mencermati ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945 setelah empat kali dirubah,
terdapat 22 butir ketentuan yang menyatakan “diatur dengan undang-undang” atau
“diatur lebih lanjut dengan undang-undang”, 11 butir ketentuan yang menyatakan
“diatur dalam undang-undang” atau “diatur lebih lanjut dalam undang-undang”,
dan 6 butir ketentuan menyatakan “ditetapkan dengan undang-undang.
Ketentuan-ketentuan tersebut jelas mengamanatkan perlunya dilakukan pembaruan
hukum sebagai bentuk pelaksanaan UUD 1945.
Bidang-bidang hukum yang memerlukan
pembentukan dan pembaruan tersebut dapat dikelompokkan menurut bidang-bidang
yang dibutuhkan, misalnya:
1. Bidang politik dan pemerintahan.
2. Bidang ekonomi dan dunia usaha.
3. Bidang kesejahteraan sosial dan budaya.
4. Bidang penataan sistem dan aparatur hukum.
Sebagai suatu kesatuan sistem hukum, upaya perubahan perundang-undangan
untuk menyesuaikan dengan perubahan UUD 1945 adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari pembangunan hukum nasional secara keseluruhan. Karena itu,
perubahan berbagai perundang-undangan sebaiknya dilakukan secara terencana dan
partisipatif dalam program legislasi nasional sekaligus bentuk legislatif
review. Program legislasi nasional harus disusun pertama dan utamanya
adalah untuk melaksanakan ketentuan dalam UUD 1945. Berdasarkan ketentuan UUD
1945 dapat dielaborasi perundang-undangan yang harus dibuat dalam program
legislasi nasional baik di bidang politik, ekonomi, maupun sosial.
Disamping itu masyarakat juga dapat mengajukan permohonan constitutional
review kepada Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang yang dianggap
merugikan hak konstitusionalnya dalam UUD 1945 yang telah diubah.[xx]
Masyarakat juga dapat mengajukan judicial review kepada Mahkamah Agung
terhadap peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang yang dianggap
bertentangan dengan Undang-Undang.
Putusan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 yang telah dibuat oleh Mahkamah Konstitusi
terhadap berbagai permohonan pengujian yang diajukan juga harus diperhatikan
dalam upaya pembangunan hukum nasional khususnya perubahan perundang-undangan.[xxi] Dalam
putusan-putusan tersebut memuat pengertian-pengertian dan konsep-konsep terkait
dengan pengertian dan pemahaman suatu ketentuan dalam konstitusi. Hingga saat
ini telah terdapat berbagai putusan Mahkamah Konstitusi baik di bidang politik[xxii],
ekonomi[xxiii],
dan sosial[xxiv] terkait
dengan ketentuan dalam UUD 1945.
Perubahan UUD 1945 dan
perubahan perundang-undangan di bawahnya juga harus diikuti dengan perubahan
kelembagaan sesuai paradigma dan ketentuan yang baru, serta perubahan kesadaran
dan budaya pelaksana hukum dan perundang-undangan. Hal ini menjadi sangat
penting karena perundang-undangan yang lama telah membentuk kultur lembaga,
kultur hukum dan birokrasi yang tidak mudah dihilangkan dan diganti. Karena itu
perlu penyegaran dan penumbuhan kembali kesadaran berkonstitusi dan budaya
hukum berdasarkan hasil perubahan UUD 1945.
Telah ada beberapa forum yang dibuat untuk dapat merumuskan program
pembangunan hukum nasional seperti Seminar Hukum Nasional, Law Summit, dan
forum seminar lainnya. Semakin banyak dilakukan forum yang mengkaji pembangunan
hukum nasional, tentu semakin banyak permasalahan yang terungkap dan
perencanaan yang dibuat. Namun hasil dari berbagai forum tersebut tentu harus
disinkronisasikan dan dipadukan sebagai suatu blue print pembangunan
hukum nasional yang menjadi pedoman dan benar-benar dilaksanakan oleh semua
pihak.
F. Budaya Sadar
Berkonstitusi
Kita tentunya menghendaki agar UUD 1945 merupakan konstitusi yang
benar-benar dilaksanakan dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara demi
tercapainya cita-cita bersama. Kontitusi mengikat segenap lembaga negara dan
seluruh warga negara. Oleh karena itu, yang menjadi pelaksana konstitusi adalah
semua lembaga negara dan segenap warga negara sesuai dengan hak dan kewajiban
masing-masing sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Dalam perspektif hukum, kata “pelaksanaan” (implementation)
terdiri dari dua konsep fungsional, yaitu; pertama, identifying constitutional norms and specifying
their meaning; dan kedua,
crafting doctrine or developing standards of review.[xxv]
Agar setiap lembaga dan segenap warga negara dapat melaksanakan kehidupan
berbangsa dan bernegara berdasarkan UUD 1945, diperlukan adanya budaya sadar
berkonstitusi. Untuk menumbuhkan budaya sadar berkonstitusi diperlukan
pemahaman terhadap nilai-nilai dan norma-norma dasar yang menjadi materi muatan
konstitusi. Pemahaman tersebut menjadi dasar bagi masyarakat untuk dapat selalu
menjadikan konstitusi sebagai rujukan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.
Jika masyarakat telah memahami norma-norma dasar dalam konstitusi dan
menerapkannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka pasti mengetahui
dan dapat mempertahankan hak-hak konstitusionalnya yang dijamin dalam UUD 1945.
Selain itu, masyarakat dapat berpartisipasi secara penuh terhadap pelaksanaan
UUD 1945 baik melalui pelaksanaan hak dan kewajibannya sebagai warga negara,
berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan, serta dapat pula
melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan negara dan jalannya pemerintahan.
Kondisi tersebut dengan sendirinya akan mencegah terjadinya penyimpangan
ataupun penyalahgunaan konstitusi.
Salah satu bentuk nyata pentingnya budaya sadar berkonstitusi bagi
pelaksanaan konstitusi adalah terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pengujian tersebut
dilakukan untuk menentukan apakah suatu ketentuan dalam suatu undang-undang,
bertentangan atau tidak dengan UUD 1945. Namun Mahkamah Konstitusi dalam hal
ini tidak dapat bertindak secara aktif. Mahkamah Konstitusi hanya dapat
menjalankan wewenang tersebut jika ada permohonan pengujian suatu undang-undang
yang diajukan oleh masyarakat.
Dalam pengajuan permohonan inilah diperlukan adanya budaya sadar
berkonstitusi berupa kesadaran akan hak konstitusionalnya sebagai warga negara baik sebagai perorangan maupun
kelompok bahwa hak-hak konstitusional telah dilanggar oleh suatu ketentuan
undang-undang. Di sisi lain, juga diperlukan adanya kesadaran untuk mendapatkan
perlindungan atas hak konstitusional yang dilanggar dengan cara mengajukan
permohonan pengujian konstitusional atas ketentuan undang-undang yang
merugikannya. Jika tidak ada budaya sadar berkonstitusi, masyarakat tidak akan
mengetahui apakah haknya terlanggar atau tidak dan tidak melakukan upaya
konstitusional untuk mendapatkan perlindungan. Akibatnya, UUD 1945 akan banyak
dilanggar oleh ketentuan undang-undang sehingga pada akhirnya konstitusi hanya
akan menjadi dokumen di atas kertas
tanpa dilaksanakan dalam praktik.
Oleh karena itulah harus ada upaya
secara terus-menerus untuk membangun budaya sadar berkonstitusi. Budaya
sadar berkonstitusi tercipta tidak hanya sekedar mengetahui norma dasar dalam
konstitusi. Lebih dari itu, juga dibutuhkan pengalaman nyata untuk melihat dan
menerapkan konstitusi dalam praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Oleh karena itu, menumbuhkan budaya sadar berkonstitusi adalah suatu
proses panjang dan berkelanjutan.
Salah satu masalah yang dihadapi
dalam upaya mendekatkan UUD 1945 sebagai konstitusi kita kepada masyarakat umum
serta menumbuhkan the living contitution
adalah karena pembahasan masalah konstitusi dan materi muatan yang terkandung
didalamnya selalu menggunakan kerangka pikir, rujukan teori, dan rujukan
praktik yang berasal dari luar negeri. Bahkan saat ini kita belum memiliki
pakar Hukum Tata Negara ataupun politik yang menguasai Hukum Tata Negara Adat.
Untuk itu, diperlukan upaya
domestikasi UUD 1945, yaitu menjadikan UUD 1945 dan pengkajiannya dilakukan
dengan merujuk pada pengalaman bangsa Indonesia dan problem nyata yang dihadapi
oleh masyarakat. Pengkajian sejarah ketatanegaraan bangsa Indonesia
selama ini masih terbatas mulai penjajahan Belanda. Padahal, sebelumnya terdapat
kerajaan-kerajaan di wilayah nusantara yang memiliki sistem dan struktur
ketatanegaraan tersendiri yang dapat dibandingkan dengan sistem ketatanegaraan
modern. Sebagai contoh, pembagian fungsi kekuasaan antara legislatif,
eksekutif, dan yudikatif sudah terbentuk walaupun kekuasaan Raja cukup dominan
karena menjadi ketua dari semua lembaga yang menjalankan fungsi-fungsi
kekuasaan tersebut. Bahkan prinsip demokrasi juga mulai terlihat karena
pengambilan keputusan diambil secara musyawarah oleh wakil-wakil masyarakat,
meskipun keputusan terakhir tetap ada pada pimpinan tertinggi.
Kenyataan-kenyataan sejarah tersebut dapat dijumpai di kerajaan dan satuan
pemerintahan lain di berbagai wilayah nusantara.
Dengan elaborasi pengalaman bangsa Indonesia sendiri
dan dikaitkan dengan perkembangan yang terjadi dalam UUD 1945, maka masyarakat
akan merasakan bahwa sistem dan pemikiran yang menjadi materi muatan UUD 1945
bukan lagi sebagai hal yang asing, tetapi tumbuh dan berkembang seiring dengan
pertumbuhan dan perkembangan masyarakat Indonesia. Jika hal ini diiringi dengan
upaya mendekatkan UUD 1945 dengan masyarakat, misalnya melalui penulisannya
dalam bahasa dan huruf daerah, masyarakat dapat menjadikan UUD 1945 benar-benar
sebagai landasan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masyarakat
akan dapat mensikapi masalah yang dihadapi berdasarkan norma-norma
konstitusional. Hal ini menjadi awal dari berkembangnya kehidupan dan pemikiran
konstitusional sesuai dengan kondisi dan perkembangan masyarakat (the living constitution).
P.
Dinamika Pelaksanaan UUD 1945
- Masa Awal Kemerdekaan
Dengan ditetapkannya Pancasila dan UUD
1945 oleh PPKI merupakan modal berharga bagi terselenggaranya roda pemerintahan
Negara RI.
Paling tidak, bangsa Indonesia
telah memiliki ketentuan – ketentuan yang pasti dalam menyelenggarakan
pemerintahan Negara. Namun, sebelum semua alat perlengkapan Negara tersusun,
bangsa Indonesia dihadapkan
persoalan eksternal yaitu kehadiran tentara Sekutu dan NICA ke wilayah Indonesia.
Setelah melalui perjuangan yang panjang,
akhirnya belanda mengakui kedaulatan Indonesia,namun bangsa Indonesia terpaksa
harus menerima berdirinya Negara yang tidak sesuai dengan cita –cita proklamasi
17 agustus 1945 dan tidak sesuai dengan kehendak UUD 1945. Negara kesatuan
republic Indonesia berubah
menjadi Negara Indonesia
serikat (Republik Indonesia Serikat) berdasarkan konstitusi RIS.
- Masa Orde Lama
Orde lama merupakan konsep yang biasa
dipergunakan untuk menyebut suatu periode pemerintahan yang ditandai dengan
berbagai penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945. Kegagalan konstituante
dalam merumuskan undang – undang dasar baru dan ketidakmampuan menembus jalan
buntu untuk kembali ke UUD 1945, telah mendoronng Presiden soekarno pada
tanggal 5 juli mengeluarkan “Dekrit Presiden”. Tindak lanjut dari dekrit
presiden tanggal 5 juli 1959 adalah pembentukn cabinet baru yang diberi nama
Kabinet Karya. Dalam prakteknya (atau masa Orde Lama), lembaga – lembaga Negara
yang ada belum dibentuk berdasarkan UUD 1945sehingga sifatnya masih sementara.
Dalam masa ini, Presiden selaku pemegang kekuasaan eksekutif dan pemegang
kekuasaan legislative (bersama – sama dengan DPRGR) telah menggunakan
kekuasaannya dengan tidak semestinya.
Penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD
1945 terus berlangsung. Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963 tentang pengangkatan
presiden seumur hidup jelas bertentangan dengan UUD 1945. pendek kata, periode
pemerintahan antara tahun 1959-1965 ditandai oleh berbagai penyelewengan
wewenang dan penyimpangan tarhadap pancasila dan UUD 1945 sehingga disebut
sebagai masa orde lama. Hampir semua kebijaksanaan yang dikeluarkan pemerintah
sangat menguntungkan PKI.
- Masa Orde Baru
Orde baru merupakan konsep yang
dipergunakan untuk menyebut suatu kurun waktupemerintahan yang ditandai dengan
keinginan melaksanakan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Dalam
upaya untuk menegakkan kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945, maka
di bentuklah front Pancasila oleh beberapa partai politik dan organisasi massa. Front Pancasila
muncul sebagai pendukung orde baru dan mempelopori tuntutan yang lebih luas
yang menyangkut kembali kehidupan kenegaraan sesuai dengan Pancasila dan
UUD1945.
- Masa Reformasi
Beberapa persoalan menarik yang perlu
dikaji sehubungan dengan gerakan reformasi, diantaranya Pancasila sebagai Dasar
Negara, UUD 195 sebagai landasan Konstitusional, serta seluruh peraturan
perundang – undangan yang berlaku. Namun demikian, beberapa persoalan yang
segera ditata sesuai dengan cita – cita reformasi, diantaranya menata hubungan
tata kerja antara Lembaga Tertinggi dan Lembaga Tinggi Negara. Yaitu
mengembalikan kedudukan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara dan sebagai
pelaksana kedaulatan rakyat sehingga tugas – tugas kenegaraan dapat berjalan
dengan lebih baik. Dengan demikian, dengan ada tidak adanya amandemen bukanlah
jaminan bagi terwujudnya pemerintahan yang jujur, bersih dan berwibaw.di
samping itu kenyataannya menunjukkan bahwa sebagai bangsa yang mengaku memiliki
sikap jujur, kesatria, dan terbuka belum mampu merealisasikan sikap itu dalam
kehidupan nyata. Jika sikap ini dapat di kedepankan,maka segala persoalan yang
di hadapi bangsa Indonesia
dapat dipecahkan tanpa menimbulkan kerugian bagi anggota masyarakat yang lain.
Oleh karena itu, jauhkan sikap emosional dan kedepankan sikap rasional, logis,
dan kritis dalam memecahkan segala persoalan yang sedang dihadapi. Kesemuanya
itu merupakan konsekuensi logis dari dinamika pelaksanaan UUD 1945. artinya,
UUD 1945 tidak harus dilaksanakan secara kaku, tetapi secara dinamis sesuai
dengan tuntutan dan Perkembangan masyarakat.
Sebelum adanya amandemen terhadap UUD 1945, dikenal dengan Tujuh Kunci Pokok
Sistem Pemerintahan Negara, namun tujuh kunci pokok tersebut mengalami suatu
perubahan. Oleh karena itu sebagai Studi Komparatif sistem pemerintahan Negara
menurut UUD 1945 mengalami perubahan. a. Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechtstaat ).
Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtstaat ), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtstaat), mengandung arti bahwa negara, termasuk didalamnya pemerintahan dan lembaga - lembaga negara lainnya dalam melaksanakan tindakan apapun.
b. Sistem Konstitusi
Pemerintah berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolut (kekuasaan yang tidak terbatas).
Sistem ini memberikan penegasan bahwa cara pengendalian pemerintahan dibatasi oleh ketentuan - ketentuan konstitusi dan juga oleh ketentuan-ketentuan hukum lain merupakan produk konstitusional.
c. Presiden ialah penyelenggara pemerintahan negara yang tertinggi disamping MPR dan DPR.
Berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen 2002, Presiden penyelenggara pemerintahan tertinggi disamping MPR dan DPR, karena Presiden dipilih langsung oleh rakyat. UUD 1945 pasal 6 A ayat 1, jadi menurut UUD 1945 ini Preiden tidak lagi merupakan mandataris MPR, melainkan dipilih oleh rakyat.
d. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR.
e. Menteri Negara ialah pembantu Presiden, Menteri Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR. Presiden dalam melaksanakan tugas dibantu oleh menteri-menteri negara, pasal 17 ayat 1 (hasil amandemen).
f. Kekuasaan Kepala Negara Tidak Tak Terbatas, meskipun Kepala negara tidak bertanggung jawab kepada DPR, ia bukan "Diktator" artinya kekuasaan tidak terbatas, disini Presiden adalah sudah tidak lagi merupakan mandataris MPR, namun demikian ia tidak dapat membubarkan DPR atau MPR.
g. Negara Indonesia adalah negara hukum, negara hukum berdasarkan Pancasila bukan berdasarkan kekuasaan.
Ciri-ciri suatu negara hukum adalah :
a. Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, dan kebudayaan.
b. Peradilan yang bebas dari suatu pengaruh kekuasaan atau kekuatan lain dan tidak memihak.
c. Jaminan kepastian hukum.
d. Kekuasaan Pemerintahan Negara
Pasal 4 ayat 1 UUD 1945 menyatakan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD 1945, Presiden dibantu oleh seorang Wakil Presiden pasal 4 ayat 2 dalam melaksanakan tugasnya.
Menurut sistem pemerintahan negara berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen 2002, bahwa Presiden dipilih langsung oleh rakyat secara legitimasi. Presiden kedudukannya kuat, disini kekuasaan Presiden tidak lagi berada dibawah MPR selaku mandataris. Akan tetapi jika Presiden dalam melaksanakan tugas menyimpang dari Konstitusi, maka MPR melakukan Impeachment, pasal 3 ayat 3 UUD 1945 dan dipertegas oleh pasal 7A. Proses Impeachment agar bersifat adil dan obyektif harus diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi, pasal 7B ayat 4 dan 5, dan jika Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan Wakil Presiden melanggar hukum, maka MPR harus segera bersidang dan keputusan didukung 3/4 dari jumlah anggota dan 2/3 dari jumlah anggota yang hadir pasal 7B ayat 7.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar