Senin, 17 September 2012

Perbedaan Media Malaysia dan Indonesia


Perbedaan Media Malaysia dan Indonesia

Hubungan Indonesia dan Malaysia beberapa tahun terakhir ini terasa semakin memanas. Ketegangan ini terjadi karena beberapa hal yang terpantik oleh isu pencurian hak milik budaya yang dilakukan oleh Malaysia. Seperti batik, kuliner, hingga kesenian tari Reog Ponorogo. Ketegangan itu semakin menjadi ketika masalah batas perairan negara Indonesia dan Malaysia yang belum selesai kembali muncul. Bahkan militer Malaysia melakukan beberapa hal yang sampai saat ini tidak diketahui maksud sesungguhnya.
Namun bagaimana masalah itu bisa semakin melebar dan memanas? Selama ini baik masyarakat Malaysia dan Indonesia pada umumnya hanya mengikuti jalannya berita yang dibawakan oleh media massa baik konvensional maupun elektronik. Yang dibuat seakan berita-berita itu nyata adanya.
Lalu apa yang terjadi? Hubungan Indonesia dan Malaysia semakin memanas. Dari sisi Indonesia, media menyudutkan Malaysia sebagai pihak yang paling bersalah. Sedangkan media Malaysia menyebutkan media Indonesia terlalu berlebihan dan tidak sesuai fakta. Siapa yang benar?
Selama ini hubungan antara media baik Indonesia dan Malaysia memang tak terlihat seperti apa sebenarnya. Kedua negara ini memang menganut sistem pers yang berbeda. Sebut saja Indonesia yang memiliki sistem pers yang bebas bertanggung jawab. Sedangkan Malaysia, keseluruhannya diatur dan berpusat di pemerintahannya.
Dr. Erman Anom, MM, dosen komunikasi  salah satu universitas di Jakarta mengutarakan perbedaan Pers Malaysia dan Indonesia dalam jurnalnya.
Malaysia dan Indonesia sama-sama memiliki masyarakat majemuk dari segi agama, budaya, etnik, suku, dan ras. Perbedaan masyarakat ini memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan dinamika kebebasan pers yang ada di dua negara tersebut. Di antara perbedaan tersebut ialah :
Malaysia:
1.  Negara tersebut mewarisi sistem pers yang ditinggalkan oleh Inggris dan undang-undangnya Common Law.
2.  Negara berhak mengawal kebebasan pers berkebijakan undang-undang.
3.  Pers dimiliki oleh partai.
4.  Kebebasan bersuara dijamin oleh konstitusi negara Malaysia dalam perkara 10 (1) (a) dan Perkara 10 (2) (a) pers telah diatur.
5.  Walaupun kode etika wartawan telah ditetapkan, namun pihak pers masih terikat dengan beberapa undang-undang yang mengkontrol pers, seperti konstitusi negara Malaysia, Akta mesin cetak dan penerbitan (1984), Akta fitnah 1957, dan Akta Hakcipta 1987.
 Indonesia
1.  Pers pertama kali dikenalkan oleh Belanda di Indonesia dan undang-undangnya Civil Law.
2.  Selama merdeka Indonesia telah memiliki 4 sistem pers yang berbeda dengan iaitu Pers masa revolusi, Pers masa liberal dan terpimpin, Pers Pancasila, Pers era reformasi.
3.   Mengenai nilai-nilai kebebasan pers sendiri telah diakui di dalam UUD 1945, iaitu diatur dalam Pasal 28, Pasal 28 E Ayat (2) dan (3) serta Pasal 28 F. Oleh itu, jelas negara telah mengakui bahawa kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan berfikir adalah merupakan bahagian daripada kewujudan negara yang demokratik dan berkebijakankan atas hukum.
4.  Pers tidak dimiliki oleh partai pemerintah secara resmi. Dalam kempanyen politik semua media massa dituntut memberikan proporsi yang sama bagi semua partai atau kandidat calon presiden, walaupun pers tersebut dimiliki oleh anggota partai secara perorangan.
5.   Pers Indonesia sebagai suatu sistem, berkait dengan aspek-aspek lainnya yang mengemukakan bahwa kebebasan pers Indonesia berlandaskan:
Segi Idiil : Pancasila
Konstitusinal : Undang-Undang Kebijakan 1945 dan Ketetapan MPR
Yuridis : Undang-Undang Pokok Pers Nomor . 40/1999
Kemasyarakatan : Tata nilai sosial yang berlaku pada masyarakat Indonesia
Etis : Norma-norma kode etik Jurnalistik atau wartawan professional
6.     Undang-undang yang mengatur media massa di Indonesia dibedakan antara media massa cetak yang diatur dengan   undang-undang pers No.40/1999 sementara media massa yang bersifat penyiaran yang diatur dalam undang-undang Penyiaran No. 32 tahun 2003.

Seorang mahasiswa Sastra Universitas Padjajaran membahasnya dalam blog darmayanti.wordpress.com dengan judul :Indonesia – Malaysia dalam Bingkai Media.” Hingar bingar pemberitaan konflik Indonesia – Malaysia semakin sering diangkat media mulai 2002. Hal ini dipicu oleh kemerdekaan pers yang dianut media Indonesia pascareformasi, sedangkan media Malaysia hingga kini masih menganut sistem pers bebas bertanggung jawab. Ini menjadikan media Indonesia lebih bersikap reaktif, sementara media Malaysia lebih adem-adem saja dalam pemberitaan konflik yang terjadi.
Besarnya pengaruh media dalam konflik Indonesia – Malaysia ini telah disadari oleh kedua negara sehingga pada tahun 2008 wartawan kedua negara bersepakat mewujudkan Ikatan Setiakawan Wartawan Malaysia – Indonesia (ISWMI). Organisasi ini didirikan untuk lebih mendekatkan kefahaman antara media kedua negara sekaligus membantu mengukuhkan hubungan bilateral.Meskipun demikian, setiap kali konflik terjadi, media kedua negara seakan bubar-jalan memilih jalan sendiri-sendiri sesuai kepentinggannya yang pada akhirnya mengonstruksi opini masyarakat di negara masing-masing.
Secara umum, sebagai masyarakat Indonesia, kita kerap disuguhi informasi yang mencitrakan Malaysia dalam posisi negatif. Dalam berbagai konflik, media merepresentasikan Malaysia sebagai maling, pencuri, rampok, kurang ajar, orang kaya baru, arogan, sombong, angkuh, beringas, doyan menggerogoti, penjiplak, dll. Disadari atau tidak, pilihan kata yang diproduksi secara berulang-ulang tersebut sesungguhnya lebih bersifat provokatif dibandingkan informatif dan berpotensi menanam benih-benih kebencian yang sangat dalam.
Jarang kita mendengar berita yang positif mengenai Malaysia, misalnya mengenai besarnya investasi negeri jiran itu sehingga membuka lapangan pekerjaan; mengenai puluhan triliun devisa yang dialirkan sekitar 2 juta TKI yang bekerja di Malaysia, mengenai bantuan materi dan tenaga yang diberikan saat Indonesia mendapat musibah bencana alam di berbagai wilayah, dan mengenai besarnya devisa dari belasan juta wisatawan Malaysia yang menghabiskan uangnya di Indonesia, termasuk di Bandung, Jawa Barat.
Sementara itu, pencitraan Indonesia dalam media Malaysia juga lebih sering diwakili oleh pencintraan TKI di Malaysia yang melakukan tindak kejahatan, pencurian, pekerja ilegal, perkosaan, pembunuhan, penipuan, prostitusi, dll. Mereka dianggap sebagai orang miskin, bodoh, kasar, jahat, sumber penyakit, sumber kerusuhan, dll. Bahkan istilah ‘indon’ menjadi berkonotasi negatif pun disebabkan media Malaysia sering merujuk TKI yang melakukan kejahatan dengan menyebut ‘indon’. Hal inilah yang pada akhirnya merepresentasikan Indonesia secara keseluruhan.
Jarang pula media di Malaysia mengangkat berita mengenai besarnya jasa TKI yang telah turut menggerakkan roda perekomonian dan perindustrian sehingga Malaysia sepesat saat ini. Jarang pula generasi muda Malaysia kini mendapat informasi mengenai indahnya hubungan ‘abang-adik’ kedua negara ini, manakala pada masa lalu abang banyak memberikan bantuan dan dukungan saat sang adik mulai tumbuh.
Selain itu, tahun 2002 – 2009 manakala kasus kekerasan terhadap TKI  seperti yang menimpa Nirmala Bonat, Ceriyati, dan Siti Hajjar terjadi, media di Indonesia mengangkat pemberitaan tersebut dengan menyayat hati sekaligus memicu amarah pembaca kepada Malaysia karena telah sewenang-wenang terhadap mereka.
Sebaliknya, selain menunjukkan juga sikap humanisme, media di Malaysia juga lebih menyuarakan bahwa kasus kekerasan yang dialami TKI hanyalah 0.0001% dari seluruh jumlah TKI yang ada. Masalah ini juga dinilai sebagai kasus individu (bukan Melayu) yang sedang diselesaikan secara hukum dan tak sepatutnya menyeret negara.
Lalu ingatkah kita pada tahun 2007 ketika terjadi kasus klaim budaya yang bertubi-tubi. Saat itu media di Indonesia beramai-ramai menuduh Malaysia telah mencuri kebudayaan Indonesia, seperti lagu rasa sayang, reog ponorogo, angklung, dan batik. Tak pelak lagi seluruh masyarakat Indonesia merasa terusik dan menuai emosi.
Sebaliknya, melalui media, Malaysia menguraikan bahwa Malaysia tidak pernah mengklaim sebagai pemilik asal seluruh budaya yang disengketakan. Lagu Rasa Sayange, misalnya, dinilai Malaysia sebagai warisan nusantara yang dinyanyikan bukan saja oleh masyarakat di Indonesia, tapi di Malaysia, Singapura, dan Brunei, sebelum perang Dunia II.
Mengenai Reog Ponorogo atau barongan, Malaysia tidak pernah mengklaim tarian ini sebagai tarian Melayu. Tarian ini  dibawa langsung oleh masyarakat Jawa Timur yang masuk ke Malaysia sejak 150 tahun lalu. Kini suku Jawa tersebut berakulturasi menjadi bagian masyarakat Melayu Malaysia.
Demikian pula mengenai angklung. Alat musik bambu ini dinilai merupakan warisan nusantara yang telah telah dibawa oleh masyarakat nusantara yang berhijrah ke Tanah Melayu sejak ratusan tahun. Sementara mengenai batik, Malaysia mempunyai motif atau corak batik yang berbeda dengan batik Indonesia. Batik juga didapati di Suriname, Afrika, Thailand, Hawaii, dan sebagainya.
Dari uraian di atas dapat kita ketahui bahwa ‘kepentingan’ dan kiblat media yang berbeda memang telah membawa arah yang berbeda dalam pemberitaan. Meskipun demikian, media diharapkan dapat mengalirkan informasi yang lebih berimbang, transparan,dan tidak provokatif.
Dibandingkan terus menuduh negara lawan sebagai akar masalah, media diharapkan dapat lebih bersikap kritis kepada pemerintah sebagai pengendali kuasa diplomasi hubungan bilateral untuk sesegera mungkin menyelesaikan seluruh persoalan antara Indonesia dan Malaysia.
Dan kita sebagai penikmat media, ketika satu-satunya sumber informasi kita adalah media, maka kita sebaiknya lebih awas dan mampu menjadi pembaca yang kritis atas segala pemberitaan mengenai hubungan Indonesia-Malaysia. Mencari informasi yang berimbang dan tidak hanya dari sebelah pihak dapat membuat kita lebih jernih dalam memandang suatu peristiwa. Hal ini demi hubungan baik negara serumpun, karena media sangat berperan penting dalam perbaikan hubungan Indonesia dan Malaysia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar