Perbedaan Media Malaysia dan Indonesia
Hubungan Indonesia dan Malaysia beberapa tahun
terakhir ini terasa semakin memanas. Ketegangan ini terjadi karena beberapa hal
yang terpantik oleh isu pencurian hak milik budaya yang dilakukan oleh
Malaysia. Seperti batik, kuliner, hingga kesenian tari Reog Ponorogo.
Ketegangan itu semakin menjadi ketika masalah batas perairan negara Indonesia
dan Malaysia yang belum selesai kembali muncul. Bahkan militer Malaysia
melakukan beberapa hal yang sampai saat ini tidak diketahui maksud
sesungguhnya.
Namun bagaimana masalah itu bisa semakin melebar
dan memanas? Selama ini baik masyarakat Malaysia dan Indonesia pada umumnya
hanya mengikuti jalannya berita yang dibawakan oleh media massa baik
konvensional maupun elektronik. Yang dibuat seakan berita-berita itu nyata
adanya.
Lalu apa yang terjadi? Hubungan Indonesia dan
Malaysia semakin memanas. Dari sisi Indonesia, media menyudutkan Malaysia
sebagai pihak yang paling bersalah. Sedangkan media Malaysia menyebutkan media
Indonesia terlalu berlebihan dan tidak sesuai fakta. Siapa yang benar?
Selama ini hubungan antara media baik Indonesia
dan Malaysia memang tak terlihat seperti apa sebenarnya. Kedua negara ini
memang menganut sistem pers yang berbeda. Sebut saja Indonesia yang memiliki
sistem pers yang bebas bertanggung jawab. Sedangkan Malaysia, keseluruhannya
diatur dan berpusat di pemerintahannya.
Dr. Erman Anom, MM, dosen komunikasi salah
satu universitas di Jakarta mengutarakan perbedaan Pers Malaysia dan Indonesia
dalam jurnalnya.
Malaysia dan Indonesia sama-sama memiliki
masyarakat majemuk dari segi agama, budaya, etnik, suku, dan ras. Perbedaan
masyarakat ini memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan dinamika
kebebasan pers yang ada di dua negara tersebut. Di antara perbedaan tersebut
ialah :
Malaysia:
1. Negara tersebut mewarisi sistem pers
yang ditinggalkan oleh Inggris dan undang-undangnya Common Law.
2. Negara berhak mengawal kebebasan pers
berkebijakan undang-undang.
3. Pers dimiliki oleh partai.
4. Kebebasan bersuara dijamin oleh
konstitusi negara Malaysia dalam perkara 10 (1) (a) dan Perkara 10 (2) (a) pers
telah diatur.
5. Walaupun kode etika wartawan telah
ditetapkan, namun pihak pers masih terikat dengan beberapa undang-undang yang
mengkontrol pers, seperti konstitusi negara Malaysia, Akta mesin cetak dan
penerbitan (1984), Akta fitnah 1957, dan Akta Hakcipta 1987.
Indonesia
1. Pers pertama kali dikenalkan oleh
Belanda di Indonesia dan undang-undangnya Civil Law.
2. Selama merdeka Indonesia telah memiliki
4 sistem pers yang berbeda dengan iaitu Pers masa revolusi, Pers masa
liberal dan terpimpin, Pers Pancasila, Pers era reformasi.
3. Mengenai nilai-nilai kebebasan
pers sendiri telah diakui di dalam UUD 1945, iaitu diatur dalam Pasal 28, Pasal
28 E Ayat (2) dan (3) serta Pasal 28 F. Oleh itu, jelas negara telah mengakui
bahawa kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan berfikir adalah merupakan
bahagian daripada kewujudan negara yang demokratik dan berkebijakankan atas
hukum.
4. Pers tidak dimiliki oleh partai
pemerintah secara resmi. Dalam kempanyen politik semua media massa dituntut
memberikan proporsi yang sama bagi semua partai atau kandidat calon presiden,
walaupun pers tersebut dimiliki oleh anggota partai secara perorangan.
5. Pers Indonesia sebagai suatu
sistem, berkait dengan aspek-aspek lainnya yang mengemukakan bahwa kebebasan
pers Indonesia berlandaskan:
Segi Idiil : Pancasila
Konstitusinal : Undang-Undang Kebijakan
1945 dan Ketetapan MPR
Yuridis : Undang-Undang Pokok Pers Nomor
. 40/1999
Kemasyarakatan : Tata nilai sosial yang
berlaku pada masyarakat Indonesia
Etis : Norma-norma kode etik Jurnalistik
atau wartawan professional
6. Undang-undang
yang mengatur media massa di Indonesia dibedakan antara media massa cetak yang
diatur dengan undang-undang pers No.40/1999 sementara media massa
yang bersifat penyiaran yang diatur dalam undang-undang Penyiaran No. 32 tahun
2003.
Seorang mahasiswa Sastra Universitas Padjajaran
membahasnya dalam blog darmayanti.wordpress.com dengan judul :Indonesia –
Malaysia dalam Bingkai Media.” Hingar bingar pemberitaan konflik Indonesia –
Malaysia semakin sering diangkat media mulai 2002. Hal ini dipicu oleh
kemerdekaan pers yang dianut media Indonesia pascareformasi, sedangkan media
Malaysia hingga kini masih menganut sistem pers bebas bertanggung jawab. Ini
menjadikan media Indonesia lebih bersikap reaktif, sementara media Malaysia
lebih adem-adem saja dalam pemberitaan konflik yang terjadi.
Besarnya pengaruh media dalam konflik Indonesia –
Malaysia ini telah disadari oleh kedua negara sehingga pada tahun 2008 wartawan
kedua negara bersepakat mewujudkan Ikatan Setiakawan Wartawan Malaysia –
Indonesia (ISWMI). Organisasi ini didirikan untuk lebih mendekatkan kefahaman
antara media kedua negara sekaligus membantu mengukuhkan hubungan
bilateral.Meskipun demikian, setiap kali konflik terjadi, media kedua negara
seakan bubar-jalan memilih jalan sendiri-sendiri sesuai kepentinggannya yang
pada akhirnya mengonstruksi opini masyarakat di negara masing-masing.
Secara umum, sebagai masyarakat Indonesia, kita
kerap disuguhi informasi yang mencitrakan Malaysia dalam posisi negatif. Dalam
berbagai konflik, media merepresentasikan Malaysia sebagai maling, pencuri,
rampok, kurang ajar, orang kaya baru, arogan, sombong, angkuh, beringas, doyan
menggerogoti, penjiplak, dll. Disadari atau tidak, pilihan kata yang diproduksi
secara berulang-ulang tersebut sesungguhnya lebih bersifat provokatif
dibandingkan informatif dan berpotensi menanam benih-benih kebencian yang
sangat dalam.
Jarang kita mendengar berita yang positif
mengenai Malaysia, misalnya mengenai besarnya investasi negeri jiran itu
sehingga membuka lapangan pekerjaan; mengenai puluhan triliun devisa yang
dialirkan sekitar 2 juta TKI yang bekerja di Malaysia, mengenai bantuan materi
dan tenaga yang diberikan saat Indonesia mendapat musibah bencana alam di
berbagai wilayah, dan mengenai besarnya devisa dari belasan juta wisatawan
Malaysia yang menghabiskan uangnya di Indonesia, termasuk di Bandung, Jawa
Barat.
Sementara itu, pencitraan Indonesia dalam media
Malaysia juga lebih sering diwakili oleh pencintraan TKI di Malaysia yang
melakukan tindak kejahatan, pencurian, pekerja ilegal, perkosaan, pembunuhan,
penipuan, prostitusi, dll. Mereka dianggap sebagai orang miskin, bodoh, kasar,
jahat, sumber penyakit, sumber kerusuhan, dll. Bahkan istilah ‘indon’ menjadi
berkonotasi negatif pun disebabkan media Malaysia sering merujuk TKI yang
melakukan kejahatan dengan menyebut ‘indon’. Hal inilah yang pada akhirnya
merepresentasikan Indonesia secara keseluruhan.
Jarang pula media di Malaysia mengangkat berita
mengenai besarnya jasa TKI yang telah turut menggerakkan roda perekomonian dan
perindustrian sehingga Malaysia sepesat saat ini. Jarang pula generasi muda
Malaysia kini mendapat informasi mengenai indahnya hubungan ‘abang-adik’ kedua
negara ini, manakala pada masa lalu abang banyak memberikan bantuan dan
dukungan saat sang adik mulai tumbuh.
Selain itu, tahun 2002 – 2009 manakala kasus
kekerasan terhadap TKI seperti yang menimpa Nirmala Bonat, Ceriyati, dan
Siti Hajjar terjadi, media di Indonesia mengangkat pemberitaan tersebut dengan
menyayat hati sekaligus memicu amarah pembaca kepada Malaysia karena telah
sewenang-wenang terhadap mereka.
Sebaliknya, selain menunjukkan juga sikap
humanisme, media di Malaysia juga lebih menyuarakan bahwa kasus kekerasan yang
dialami TKI hanyalah 0.0001% dari seluruh jumlah TKI yang ada. Masalah ini juga
dinilai sebagai kasus individu (bukan Melayu) yang sedang diselesaikan secara
hukum dan tak sepatutnya menyeret negara.
Lalu ingatkah kita pada tahun 2007 ketika terjadi
kasus klaim budaya yang bertubi-tubi. Saat itu media di Indonesia beramai-ramai
menuduh Malaysia telah mencuri kebudayaan Indonesia, seperti lagu rasa sayang,
reog ponorogo, angklung, dan batik. Tak pelak lagi seluruh masyarakat Indonesia
merasa terusik dan menuai emosi.
Sebaliknya, melalui media, Malaysia menguraikan
bahwa Malaysia tidak pernah mengklaim sebagai pemilik asal seluruh budaya yang
disengketakan. Lagu Rasa Sayange, misalnya, dinilai Malaysia sebagai warisan
nusantara yang dinyanyikan bukan saja oleh masyarakat di Indonesia, tapi di
Malaysia, Singapura, dan Brunei, sebelum perang Dunia II.
Mengenai Reog Ponorogo atau barongan, Malaysia
tidak pernah mengklaim tarian ini sebagai tarian Melayu. Tarian ini
dibawa langsung oleh masyarakat Jawa Timur yang masuk ke Malaysia sejak 150
tahun lalu. Kini suku Jawa tersebut berakulturasi menjadi bagian masyarakat
Melayu Malaysia.
Demikian pula mengenai angklung. Alat musik bambu
ini dinilai merupakan warisan nusantara yang telah telah dibawa oleh masyarakat
nusantara yang berhijrah ke Tanah Melayu sejak ratusan tahun. Sementara
mengenai batik, Malaysia mempunyai motif atau corak batik yang berbeda dengan
batik Indonesia. Batik juga didapati di Suriname, Afrika, Thailand, Hawaii, dan
sebagainya.
Dari uraian di atas dapat kita ketahui bahwa
‘kepentingan’ dan kiblat media yang berbeda memang telah membawa arah yang
berbeda dalam pemberitaan. Meskipun demikian, media diharapkan dapat mengalirkan
informasi yang lebih berimbang, transparan,dan tidak provokatif.
Dibandingkan terus menuduh negara lawan sebagai
akar masalah, media diharapkan dapat lebih bersikap kritis kepada pemerintah
sebagai pengendali kuasa diplomasi hubungan bilateral untuk sesegera mungkin
menyelesaikan seluruh persoalan antara Indonesia dan Malaysia.
Dan kita sebagai penikmat media, ketika
satu-satunya sumber informasi kita adalah media, maka kita sebaiknya lebih awas
dan mampu menjadi pembaca yang kritis atas segala pemberitaan mengenai hubungan
Indonesia-Malaysia. Mencari informasi yang berimbang dan tidak hanya dari
sebelah pihak dapat membuat kita lebih jernih dalam memandang suatu peristiwa.
Hal ini demi hubungan baik negara serumpun, karena media sangat berperan penting
dalam perbaikan hubungan Indonesia dan Malaysia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar